Palangkaraya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 18 Desember 2019. Pada Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Lahan Gambut Berkelanjutan Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat 2019 di Universitas Palangkaraya (UPR), Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK, Sri Parwati Murwani Budisusanti, mengungkapkan pentingnya pengetahuan tentang daya dukung (carriying capacity) dan daya tampung (asimilatif capacity) Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk menjamin pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
“Kunci pengelolaan DAS adalah kajian daya dukung dan daya tampung. Dari sana akan diketahui apasaja kegiatan yang ada dan dapat dilakukan di atas DAS tertentu, sehingga kerusakan DAS dapat diantisipasi, ” ujar Sri Parwati yang hadir mewakili Wakil Menteri LHK pada kegiatan Seminar Nasional ini.
Lebih lanjut, Sri Parwati menjelaskan jika pengetahuan tentang daya tampung DAS terutama berkaitan dengan kualitas air sangat berguna untuk mendukung kehidupan makhluk hidup. Kajian daya tampung dapat menjelaskan mulai dari debit erosi yang masuk ke aliran sungai, hingga sumber-sumber pencemaran air sungai.
Kemudian juga menurut Sri Parwati dalam pengelolaan DAS tidak bisa dilepaskan dengan perencanaan tata ruang wilayah. Pengelolaan DAS yang tidak singkron dengan perencanaan tata ruang wilayah dipastikan menyebabkan DAS rentan rusak dan dapat memicu bencana seperti banjir dan longsor. Hal ini terutama terkait kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan yang diizinkan di atas sebuah DAS yang diatur dalam perencanaan tata ruang wilayah. Untuk hal ini menurutnya dapat didekati dengan kajian daya dukung DAS.
Khusus untuk Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Parwati menjelaskan jika keberadaan lahan gambut dalam DAS menjadi keunikan yang perlu penanganan tersendiri. Diperlukan kesamaan visi dan komitmen para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan gambut agar ekosistem gambut dapat lestari
“Kunci pengelolaan gambut itu adalah memastikan air gambut tidak keluar/lepas yang menyebabkan lahan gambut menjadi kering dan rusak, sehingga mudah terbakar. Kejadian karhutla pada lahan gambut diketahui mengemisi dioxin dan furan yang karsinogenik yang menurut WHO beresiko menurunkan kesehatan pada manusia.” tegas Sri Parwati.
Sri juga menjelaskan jika di Kalimantan Tengah, DAS Kahayan yang lintas provinsi menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat. Namun demikian di Kalimantan Tengah sendiri total ada 11 DAS yang juga menjadi kewenangan pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Oleh karena itu agar pengelolaan ekosistem gambut baik dan sinergis dari tingkat tapak hingga pusat dirinya mendorong setiap pemerintah daerah dengan dibantu unsur akademisi menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) .
RPPEG merupakan instrumen kebijakan yang di dalamnya berisi upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem sistematis dan terpadu, dimana salah satunya terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut yang berkorelasi terhadap kualitas udara secara nasional bahkan global. Dokumen RPPEG juga sebagai pendukung dalam rencana pembangunan daerah dan rencana tata ruang wilayah.
Selanjutnya Rektor UPR, Andrie Elia menyatakan sangat berterimakasih atas kehadiran Wamen KLHK Alue Dohong yang diwakili oleh Direktur Pemulihan Kerusakan Gambut KLHK. Dirinya menyatakan UPR telah banyak berinovasi terkait pengelolaan gambut berkelanjutan, salah satunya dengan membangun Laboratorium Alam Hutan Gambut Sebangau-Palangkaraya, selanjutnya juga baru-baru ini sedang membangun gedung pengembangan inovasi gambut dengan tinggi 7 lantai.
UPR juga sudah di desain Green Kampus, dirinya meminta bantuan KLHK melalui UPT BPDAS agar membantu pembibitan. Dirinya mengaku UPR telah memiliki tanaman kayu Meranti Merah yang saat ini sudah berumur 3 tahun. Dengan batuan itu diharapkan tanaman ekosistem gambut yang memiliki nilai ekologis maupun ekonomis tinggi ini dapat tumbuh baik dan melindungi lahan gambut khususnya sekitar kampus UPR agar tidak terbakar jika musim kering tiba.
Kemudian hal senada diungkapkan oleh Ketua Dewan Riset Nasional & Pendiri sekaligus Ketua Himpunan Gambut Indonesia, Bambang Setiadi. Dirinya setuju jika lahan gambut perlu dikelola dengan prinsip kehati-hatian tinggi, tinggi muka air gambut harus dipertahankan dengan manajemen dan teknologi tertentu untuk mencegah gambut kering dan mengalami penurunan (subsiden) sehingga mudah terbakar dan mengancam perubahan iklim.
Namun demikian berdasarkan yang dipelajarinya baru-baru ini dimungkinkan ekosistem gambut untuk memulihkan dirinya sendiri setelah terdegradasi. Kunci utamanya adalah dibutuhkannya waktu, sehingga lahan gambut yang sehat dan utuh perlu dilindungi dan dikelola agar tetap lestari, sementara lahan gambut yang terdegradasi segera untuk dipulihkan.
Indonesian sendiri merupakan pemilik ekosistem gambut terbesar nomor 4 di dunia, dengan ekosistem gambut tropisnya. Lahan gambut berperan dalam penyimpanan karbon dengan kemampuan sampai 46 gigaton atau berarti 8 – 14 % karbon berada di lahan gambut.(*)
Sumber : https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/, Tanggal 18 Desember 2019
Leave a Reply